Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan kategori species kritis (“critically endangered”) berdasarkan IUCN’s Red Data List of Threatened Species, kini keberadaannya di dunia hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Saudaranya yang dulu pernah tersisa di Vietnam telah dinyatakan punah sejak tahun 2010. Jumlahnya di TNUK saat ini hanya 67 ekor (Press Release Balai TNUK 2016). Penyebarannya di kawasan TNUK terkonsentrasi di areal Semenanjung Ujung Kulon. Populasi yang relatif kecil (kurang dari 100 individu) yang terkonsentrasi pada satu kawasan yang terisolir mengandung derajat keterancaman punah yang tinggi baik sebagai akibat bencana alam, perubahan habitat, maupun sifat intrinsic biologis/genetiknya sendiri. Semenanjung Ujung Kulon merupakan bagian paling ujung dari bagian Barat Pulau Jawa , yang posisinya berada di Selat Sunda berdekatan dengan Gunung Krakatau, sesar Indo-Australia, sesar Semangka dan sesar Selat Sunda sendiri
Oleh karena jumlahnya yang terbatas dan berada di lokasi yang posisinya berdekatan dengan faktor ancaman stockastic alami seperti letusan Gunung Anak Krakatau dan biologis seperti ancaman inbreeding, para ahli dan penggiat konservasi mengkhawatirkan kelestarian Badak Jawa di masa yang akan datang.
MERESPON PASCA TSUNAMI SELAT SUNDA 2018
Pada Sabtu 22 Desember 2018, sekitar jam 21.30 WIB telah terjadi Tsunami di Selat Sunda sebagai dampak dari longsornya lereng Gn. Anak Krakatau seluas 64 Ha (Sumber: BMKG). Material longsoran lereng Anak Krakatau yang volumenya diestimasi sekitar 150-180 juta meter kubik (Sumber : PVMBG) itu menimbulkan gelombang tsunami yang mampu memporak-porandakan rumah dan bangunan lain serta menimbulkan korban jiwa di beberapa titik di pantai Selat Sunda di lima Kabupaten, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang (di Propinsi Banten), Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Pesawaran (di Propinsi Lampung).
Gelombang tsunami itu juga menyapu sebagian kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) di Kabupaten Pandeglang. Dua orang petugas taman nasional yang sedang bertugas di Citelang menjadi korban meninggal terbawa arus. Selain itu, sejumlah bangunan kantor dan kapal milik TNUK juga hancur diterjang tsunami.
Tsunami kali ini tidak berdampak terhadap badak jawa dan habitatnya, baik yang di Semenanjung maupun yang di JRSCA. Kawasan TNUK yang terdampak oleh tsunami kali ini adalah kerusakan hamparan vegetasi hingga 100 meter dari bibir pantai di Citelang, Jamang, dan Tanjung Alang-alang yang terletak di ujung Utara sebelah Barat dari Semenanjung. Tidak ada data badak jawa yang terdampak, mungkin saat kejadian tidak ada badak yang sedang berada di tempat-tempat tersebut (Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Dr. Ir. U. Mamat Rahmat). Menjadi dugaan apakah badak jawa secara instinktif sudah terlebih dahulu menangkap “sinyal-sinyal” akan terjadinya bencana, sehingga lari menjauhi atau menghindar dari daerah yang mungkin akan terdampak.
Meskipun demikian, peristiwa ini menjadi bukti dan meningkatkan kekhawatiran terjadinya bencana akibat dari aktifitas Gn. Anak Krakatau bisa terjadi. Apabila runtuhan dinding Gn Anak Krakatau lebih besar sehingga menimbulkan tsunami yang lebih besar, maka dampak terhadap kawasan Semenanjung TNUK bukan mustahil akan lebih besar dan dapat mengenai badak jawa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu respon yang tepat dan relatif cepat diperlukan untuk sedini mungkin mengamankan badak jawa dari ancaman bencana GN. Anak Krakatau.
Respon tersebut telah sebelumnya diantisipasi berupa upaya percepatan masuknya lebih banyak badak dari Semenanjung ke areal JRSCA dengan membuat koridor Cibanowoh – Karangranjang dan upaya tambahan yang perlu segera dilaksanakan dengan perluasan areal JRSCA ke arah Gunung Honje. Mengingat sampai saat ini belum disepakati lokasi mana di luar kawasan TNUK yang dapat dijadikan sebagai habitat kedua, maka setidaknya populasi badak di Semenanjung dapat “dievakuasi” ke areal JRSCA.
Penetapan JRSCA
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [sebelumnya Kementerian Kehutanan] berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Indonesia, Peraturan Menhut No 43/2007, telah menetapkan wilayah seluas 5.100 hektar yang relatif aman dari ancaman bencana Gn. Krakatau, untuk mempelajari habitat, perilaku dan biologi-reproduksi badak jawa, yang dikelola secara intensif dan terencana sebagai perluasan habitat untuk meningkatkan populasinya serta mempersiapkan individu-individu terpilih untuk nantinya ditranslokasikan ke areal lain di luar kawasan TNUK.
Areal yang secara geografis berada di luar Semenanjung Ujung Kulon ini, dipisahkan Tanah Genting Laban – Karang Ranjang, merupakan lokasi yang dinamakan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) dengan kegiatannya telah dimulai sejak Tahun 2010.
Dengan pembinaan habitat intensif disertai pembukaan koridor dari Semenanjung Ujung Kulon, diharapkan individu-individu badak bergerak masuk ke areal JRSCA. Individu-individu tersebut, [bersama individu-individu asli di JRSCA], nantinya akan menjadi sub-populasi badak jawa yang dikelola dengan teknik pengembangbiakan relevan [tepat]. Proses ini tentu saja tidak bisa berlangsung cepat, butuh waktu.
Hasil pemantauan menunjukkan, individu badak yang menetap di areal JRSCA setelah dilakukan pengendalian langkap sejak 2012, jumlahnya tiga individu. Semua jantan.
JRSCA SEBAGAI STEPPING STONE
Kegiatan pembinaan habitat yang selama ini dilakukan berupa pengendalian langkap dan pembatasan aktivitas manusia dan masuknya ternak kerbau telah memberikan dampak positif berupa datangnya dan pemanfaatan habitat oleh badak. Dari data dari ukuran jejak yang didapat, dipastikan sampai saat ini ada 3 ekor badak yang menetap di areal JRSCA.
Dengan tsunami yang relatif “kecil” di areal ini badak tidak terdampak. Hal ini menguatkan bukti bahwa JRSCA dapat difungsikan sebagai batu loncatan (stepping stone) sebelum badak-badak betul-betul dapat ditranslokasikan ke habitat lain di luar TNUK. Untuk meningkatkan daya tampung areal JRSCA terhadap badak-badak dari Semenanjung, penting ada upaya perluasan ke arah Gn. Honje yang secara historis juga merupakan areal sebaran badak. Untuk itu diperlukan pengembangan koridor yang menghubungkan blok-blok di dalam areal jrsca yang pernah dihuni badak antara lain yaitu : Bangkonol, Cimahi, Tamanjaya Girang, Cimenteng, sampai Cibiuk dengan koridor Cibandawoh-Karangranjang. Pembuatan koridor dimaksud selain berungsi mengalirkan badak ke areal yang lebih luas juga dapat berfungsi mendekatkan dan meningkatkan kepedulian penggarap kawasan (illegal) terhadap pentingnya melestarikan badak jawa.
Fakta lapangan ini sekaligus menunjukkan, JRSCA merupakan lokasi yang cocok sebagai habitat kedua badak jawa. Pertama, ketersediaan ragam tumbuhan pakan yang mencapai 200 jenis. Ada mara, balanding, sulangkar, bisoro, kijahe, kitanjung, simpeureun, juga tepus dan laban kapas [beberapa jenis ditulis dengan nama lokal].
Kedua, di areal JRSCA terdapat delapan sungai utama yaitu; Cilintang [sepanjang 8.000 m], Kalejetan [11.300 m], Aer Mokla [4.000 m], Cihujan [5.400 m], Cikarang [4.000 m], Cipunaga [2.000 m], Ciperepet [2.000 m], dan Selokan Duyung [500 m]. Juga, terdapat delapan mata air: Solokan Duyung, Seuseupan, Cihujan, Rorah Salman, Cekekan Cilintang, Leuwi Bedog, Bangkonol, dan Kubangan Santa.
Ketiga, ada tujuh kubangan aktif. Kubangan Pangorok, Seuseupan, Alor Jangkardi, Kalejetan Gede, Aer Mokla, Bangkonol, dan Santa.
Keempat, beberapa faktor lain, seperti sumber mineral [salt lick], terdapat di Cibiuk, daerah Gunung Honje yang tidak jauh dari JRSCA.
Permasalahan dalamMencari Habitat Kedua di luar TNUK dan Usulan alternatif
Mencari habitat kedua di luar TNUK di P. Jawa tidaklah mudah. Faktor kepadatan penduduk dan aktifitas pembangunan yang demikian pesat merupakan pembatasan yang utama. Suaka Margasatwa Cikepuh lingkungannya mirip dengan TNUK, akan tetapi karena kawasan tersebut merupakan areal latihan militer maka menjadi masalah untuk menjadi habitat kedua badak jawa.
Usulan alternatifnya adalah memperluas JRSCA ke arah Cibiuk yang masih berada di Pulau Jawa dan mempersiapkan beberapa kawasan di Luar Jawa di Sumatera di mana Badak Jawa pernah hidup. Lokasi potensial di Sumatera itu antara lain TN Way Kambas, Berbak Sembilang,TN. Bukit Tiga Puluh, dan Hutan restorasi ekosistem Harapan di Jambi.
Peristiwa Tsunami Selat Sunda 2018 semakin menyadarkan kita bahwa pemindahan sebagian populasi Badak Jawa kehabitat lain di luar TNUK sangat penting untuk dilakukan. Seperti pepatah Inggris mengatakan : “ Don’t put all your eggs in one basket “. Artinya kita jangan mengkonsenterasikan sumber daya , termasuk Badak Jawa, dalam satu area. Kalau itu kita lakukan, maka apabila terjadi bencana di area tersebut, maka habislah semua sumber daya tersebut, tidak ada cadangan lagi.
Namun, mengingat sampai saat ini belum ada keputusan pemerintah wilayah mana yang akan dijadikan habitat kedua, perluasan dan peningkatan preferensi [daya tarik] areal JRSCA bagi badak jawa untuk datang dan menetap penting dilakukan segera.
Percepatan “evakuasi” sebagian populasi badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon ke areal ini layak dipertimbangkan. Tujuannya, mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang mengancam kehidupan badak jawa, terutama kepunahannya. Sebagaimana hantaman tsunami.
Peta wilayah JRSCA, Taman Nasional Ujung Kulon. Peta: YABI/TNUK/IRF
Penulis : *Widodo S. Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia [YABI]. **Hayani Suprahman, Koordinator JRSCA Ujung Kulon Yayasan Badak Indonesia. Tulisan ini opini penulis
Link berita : https://www.mongabay.co.id/2019/01/25/perluasan-habitat-upaya-nyata-menyelamatkan-badak-jawa-dari-kepunahan/